SANG PENJAJA CINTA DARI SIGUNDUL
Oleh: Taryaman, S.Pd*)
Malam kian larut, Budi terus menarik
gas sepeda motornya sekencang mungkin. Sudah tidak terhitung lagi mobil dan sepeda
motor yang berhasil disalipnya. Malam
yang gelap dan gemuruh halilintar yang menggelegar menambah Budi untuk menancap
sepeda motor sekencang-kencangnya. Dengan gaya meliuk-liuk di jalan raya, Budi
berusaha menyalip kendaraan yang ada
di depannya. Lobang dan kerikil di
jalanan pun tidak dihiraukan lagi oleh Budi untuk diterabasnya. Tikungan, tanjakan serta turunan mampu dilalapnya dengan mudah oleh Budi. Begitu
pun rasa capai dan lapar pun tak menghalangi Budi untuk terus menggeber kuda besinya. Kelihaian tangan, kaki
serta konsentrasi yang tinggi sangat diperlukan oleh Budi untuk dapat menguasai
sepeda motornya. Tatkala Budi melewati jalan yang sepi jauh dari rumah penduduk
dan sedikit penerangan jalan, jantung Budi berdetak lebih kencang. Perasaan takut akan pembegalan atau perampokan
di jalan menghantui dirinya. Ditambah lagi oleh kilatan cahaya halilitar yang
bertubi-tubi menandakan akan turunnya hujan membuat dia menggeber kuda besinya lebih kencang lagi. Apa yang dia pikirkan cuma
satu, yaitu secepat mungkin sampai ke rumah dengan selamat dan terbebas dari
guyuran hujan.
Budi yang sekarang kuliah di Bandung sebenarya sudah
terbiasa mengendarai sepeda motor dari Cirebon ke Bandung, tapi baru kali ini
ia mengendarai sepeda motor lebih kencang dari biasanya. Biasanya Budi memerlukan
waktu 3 sampai 4 jam untuk sampai dari Cirebon ke Bandung atau sebaliknya dari
Bandung ke Cirebon. Budi menyesal berangkat dari Bandung sedikit malam,
sehingga membuat dia tidak nyaman dalam mengendarai sepeda motornya. Setelah
lama berkendaraan akhirnya Budi pun sampai di lampu merah Kadipaten. Lampu
merah memberi dia kesempatan dia beristirahat sebentar. Ia meluruskan sendi-sendi
kaki dan tangannya untuk lebih mengendurkan urat-urat
saraf yang semakin tegang. Begitu lampu hijau menyala laksana dalam sebuah pertandingan balap sepeda motor, Budi
langsung menancap gas sepeda motornya. Dalam hitungan menit terminal Kadipaten
pun dapat terlewati.
Suasana jalanan yang sepi memudahkan
Budi menggeber sepeda motornya.
Kurang dari satu jam daerah Jatiwangi sampai Ciwaringin pun dapat terlewati.
Ketika sampai di perempatan Palimanan, hujan yang ditakutkan Budi akhirnya
turun juga. Budi masih terus melaju dengan
sepeda motornya. Lama-kelamaan hujan pun bertambah besar. Dinginnya air hujan
langsung terasa di kulit Budi. Setelah
samapai di daerah Plumbon tepatnya di daerah Sigundul Budi sudah tidak kuat lagi
menahan deras dan dinginnya air hujan. Ia segera mencari tempat berteduh. Ia
berhenti dan merapatkan sepeda motornya pada warung-warung yang berjejer rapih di
pinggir jalan di daerah Sigundul.
Sebenarnya ia tidak ingin berhenti di
daerah Sigundul, tapi karena kondisi badannya yang tidak kuat lagi menahan guyuran hujan ,maka dengan
terpaksa ia pun berhenti juga. Kabar tentang daerah Sigundul sebagai tempat
transaksi esek-esek para kaum waria dan PSK, membuat Budi sedikit ragu-ragu untuk berhenti di tempat ini. Rasa
penasaran menggelayuti batin Budi tentang kebenaran berita tersebut. Budi
langsung masuk ke warung yang kebetulan masih buka. Ia segera memesan indomie
rebus dan minuman hangat untuk menghilangkan rasa lapar dan dinginnya malam
yang tidak bisa ditolerir lagi. Sambil menunggu pesanannya datang, ia melihat
keadaan sekitar daerah sigundul. Warung-warung yang berjejer rapi di pinggir
jalan dengan sedikit penerangan jalan. Pada sisi jalan juga banyak ngetem truk-truk besar untuk
menghilangkan kepenatan para supirnya. Apalagi di belakang warung ini terhampar
sungai dan sawah yang begitu luas.
“Mungkin keadaan inilah yang dimanfaatkan betul oleh para pekerja seks,
baik dari kaum waria maupun dari PSK”, kata Budi yang mencoba menganalisa tempat tersebut.
Walaupun di depan warung-warung di
Sigundul berdiri rumah sakit yang cukup megah, tapi toh tidak mempengaruhi
transaksi esek-esek di daerah ini. Setelah
sekian lama akhirnya pesanan makanan pun datang juga.
“Mas,
indomie rebus sama teh panasnya sudah jadi”, kata penjaga warung.
“Terimakasih
Bu...”.
Tanpa menunggu lama Budi pun langsung
menyantap indomie rebus yang sudah tersaji. Indomie rebus dan teh hangat terasa
nikmat di tenggorokan. Lagi enak-enaknya makan, tiba-tiba dari dalam warung
tersebut muncul sosok yang membuat Budi kaget bukan kepalang. Dengan dandanan
yang begitu menor laksana biduanita. Sosok tersebut sedikit demi sedikit menghampirinya.
Sosok yang kelihatan dari jauh seperti perempuan, tapi setelah di lihat dari
dekat sangat kelihatan otot-otot kelaki-lakiannya. Tonjolan jakun pun sangat terlihat jelas menempel
di lehernya. Ini menandakan bahwa sosok ini adalah laki-laki yang berdandan ala
wanita alias waria.
Dalam hatinya berkata, “Ternayata benar Sigundul adalah tempat mangkalnya para waria”.
Jantung Budi terus berdetak lebih
kencang begitu sosok waria tersebut
terus mendekatinya, bahkan tanpa sungkan-sungkan ia berusaha menjamah tubuh
Budi. Budi seakan-akan tidak bisa bernafas melihat perilaku waria yang begitu nekat pada dirinya.
“Mau
pijit mas...? Pake mulut boleh. Dua puluh ribu aja ko mas”, kata waria yang berusaha menawarkan diri dengan
gayanya yang sangat genit.
Mendapat tawaran seperti itu Budi langsung
berhenti makan dan melirik ke arah ke arah waria
tersebut . Ada perasaan risi dengan kedatangan waria tersebut. Ingin rasanya ia mengusir waria itu dari hadapannya, tapi itu jelas tidak mungkin, karena waria tersebut adalah pelanggan warung
sama seperti dirinya. Setelah sekian lama akhirnya Budi mampu menenangkan
dirinya. Karena tidak ada piihan, Budi pun berusaha menanggapi Waria dengan perasaan tenang tanpa
mengurangi rasa hormat pada waria
itu.
“Mas..,
eeh salah, maksud saya nama mba siapa?”, kata Budi sedikit grogi.
“Andien
Mas, kenapa grogi mas...?”
“kita
Ngobrol aja ya.., ga usah pegang-pegang tangan saya”, kata Budi sambil
melepaskan tangannya yang berusaha dipegang oleh waria tersebut.
“Boleh aja, asal mas dikasih uang
ke eyke”, kata waria
sedikit memberi penawaran dengan gaya keperempuannya.
“Ya, nanti saya kasih dua puluh ribu deh! Asal kamu jangan macam-macam ke saya
ya!”, kata Budi
sedikit menggertak.
Untuk menghilangkan kejenuhan,
akhirnya Budi dan waria tersebut
terlibat percakapan di dalam warung tersebut. Budi mendengarkan segala suka
duka dan curhat dari waria Andien itu. Ternyata Andien nama
aslinya Andi. Dia berasal dari Cirebon dari keluarga berpendidikan, tapi karena
pergaulan yang lebih banyak dengan perempuan. Akhirnya sifat dan perilakunya
pun seperti perempuan. Ditambah lagi pengalaman pahit yang pernah ia alami
ketika di SMA. Ia pernah disodomi oleh seseorang yang menambah
sifat keperempuannya. Keluarganya berkali-kali menegur dan melakukan berbagai
macam cara untuk merubah dia menjadi
laki-laki tulen, tapi itu tidak berpengaruh. Bahkan semakin hari sifat perempuannya
semakin bertambah. Ia tidak malu-malu lagi menggunakan dandanan ala perempuan.
Dia lebih PD kalau menggunakan
dandanan perempuan. Orientasi seksnya pun berubah, ia lebih menyukai laki-laki
dari pada perempuan. Akhirnya untuk menunjukkan eksistensinya ia kabur dari
rumah dan menjadi penjaja seks di
Sigundul. Ia bukan semata-mata mencari sepeser rupiah sebagai penghasilan
hidupnya, tapi yang lebih penting lagi mencari kepuasan bathin dan kepuasan
biologisnya terhadap kaum laki-laki. Sebenarnya ia menginginkan bekerja di lingkungan formal yang
sesuai dengan sifat keprempuannya misalnya menjadi penjaga toko, di salon,
refleksi dan pekerjaan-pekerjaan lainnya. Tapi apa daya kemampuan dia sangat
kurang, akhirnya dia terjerumus ke lembah Sigundul. Sikap masyarakat yang
menganggap kaum waria sebagai sampah
masyarakat pun membuat dia semakin jauh masuk
ke dalam dunia kewariannya. Dalam bathinnya menangis akan kedurhakannya kepada Tuhan. Ingin rasanya
keluar dari bayang-bayang antara laki-laki dan perempuan. Andai ia boleh memilih tentu ia ingin jenis kelamin
perempuan asli tanpa embel-embel waria.
Tapi itu sesuatu yang mustahil, karena sama saja dengan menyalahi kodrat. Ingin
rasanya ia bisa membina rumah tangga, mempunyai anak dan hidup bahagia seperti
manusia normal lainnya.
Begitu asyiknya ngobrol dengan waria. Tak terasa hujan di luar pun
berhenti. Tiba-tiba terdengar suara yang membuat kaget seluruh pelanggan warung
tersebut.
“Ada
razia! Ada razia!”.
Mendengar pemberitahuan tersebut muka
Andien alias Andi langsung kaget dan segera berdiri dari tempat duduknya.
“Udah
Mas! Ada razia saya harus kabur!” kata
Andien tergopoh-gopoh.
Andien pun langsung keluar dari warung
tersebut. Sepatu hak tinggi yang dipakainya segera ia copot dan tanpa basa-basi
ia pun berlari sekencang mungkin menghindari kejaran petugas SATPOL PP yang
kebetulan sedang melakukan operasi (razia) penyakit masyarakat di daerah
tersebut. Dalam hati kecil Budi tertawa terkekeh melihat tingkah laku Andien
yang lari tunggang langgang.
“Andien...Andien,
ternyata keluar juga sifat kelaki-lakiannya”, kata Budi sambil
menggelengkan-gelengkan kepala.
Melihat fenomena tersebut rasa ibah muncul
dalam relung hati Budi, melihat kerasnya hidup yang dialami oleh Andien dan
kelompok waria lainnya. Nyanyian yang
mereka suarakan begitu sumbang dan lirih yang terasa tidak merdu untuk
didengarkan. Nyanyian tentang kegamangan
jati diri, kegamangan eksistensinya, kegamangan tentang masa depannya,
kegamangan tentang tanggung jawab kepada Tuhan dan masih banyak
kegamangan-kegamangan lainnya yang sangat sulit untuk dijawab. Ia berharap
semoga esok hari nyanyian Andien berubah menjadi nyanyian merdu dengan
nada-nada yang enak untuk didengar.
“Semoga
engkau menjadi Andi lagi bukan menjadi Andien. Kau dilahirkan sebagai Andi,
bukan Andien. Semoga Tuhan memberikan jalan kepadamu”.
Setelah menghilangnya Andien oleh
kegelapan malam, Budi pun beranjak juga dari warung tersebut. Ia segera menstater sepeda motornya dan berlalu
dari kawasan Sigundul untuk melanjutkan
perjalananan sampai ke tempat tujuannya
dengan selamat.
*)Guru/Staf
Pengajar tinggal di Kedawung, Cirebon
Tidak ada komentar:
Posting Komentar