CINTA SANG GURU
Oleh: Taryaman, S.Pd*)
................
.....................
Umar Bakri .....
Umar Bakri.....
40 tahun mengabdi jadi guru jujur berbakti ...
Memang makan hati.
..................
Di angkot
yang ditumpangi Pak Junedi, lagu Umar Bakri ciptaan Iwan Fals terus
berkumandang. Ditengah cuaca yang sangat terik dan bisingnya kemacetan lalu
lintas menambah penatnya suasana di siang itu. Ada rasa marah dan sedih mendengar lirik lagu Umar Bakri ciptaan Iwan
Fals tersebut. Pak Junedi yang berprofesi
sebagai guru yang jujur tentu tidak terima dengan penggambaran nasib guru
seperti Umar Bakri. Sebegitu melaratkah nasib guru, sehingga para guru cuma
mampu mampu membeli sepeda butut
sebagai sarana transportasinya? Sebegitu rendahkah penghargaan para anak
didiknya terhadap pahlawan tanda jasa ini yang jelas-jelas berjasa mengantarkan
mereka ke gerbang cita-cita yang mereka inginkan?
“Mungkin ini sekedar lagu yang terkadang terlalu berlebihan”, kata Pak Junedi dalam hati.
Pak Junedi percaya seandainya ia
berbuat yang terbaik pada anak didiknya, maka dengan sendirinya mereka pun akan
menghargai dan berterimasih kepadanya. Tapi penggambaran yang dikemukakan Iwan
Fals tidak selamanya salah. Mungkin ada sebagian kecil anak didiknya terkadang
kurang menghargai jerih payah para gurunya. Para guru yang jujur terkadang
sering makan hati. Mereka bekerja keras dengan sepenuh hati mencerdaskan anak didiknya, tapi ketika anak didiknya
keluar dari bangku sekolah dan menjadi orang besar. Maka mereka dengan mudah melupakan begitu saja jasa-jasa guru di
sekolahnya. Mereka seperti kacang lupa pada kulitnya. Bagi Pak Junedi ini hanya
kasus kecil yang mungkin terjadi pada satu atau dua siswa dari sekian ribu
siswa yang pernah dididiknya. Ada rasa bangga ketika melihat anak didiknya
menjadi orang besar, tetapi mereka tetap menghargai dan menganggap sebagai gurunya.
Bukankah mereka besar karena jasa para guru? Termasuk negeri ini akan
berterimakasih pada para guru. Bukankah pembangunan dan kesejahteraan yang kita
rasakan sekarang berkat jasa guru?
Bukankah kemajuan kemajuan negeri berkat jasa guru? Peranan guru sangatlah
besar dalam pembangunan bangsa ini.
Akhirnya Pak Junedi sampai juga di
tempat yang dituju. Angkot segera
merapat ke pinggir jalan. Pak Junedi segera turun dan membayar ongkos sesuai
tarif yang ada. Ia segera berjalan
menuju tempat tinggalnya yang berjarak kurang lebih 300 meter dari jalan raya.
Cuaca yang begitu terik ditambah perut Pak Junedi yang keroncongan yang ingin segera diisi membuat jarak 300 meter serasa
begitu jauh untuk ditempuh. Rasa haus dan keringat segera bercucuran membasahi
wajah dan baju yang dikenakan Pak Junedi. Ingin rasanya ia membeli sepeda motor
atau mobil sebagai sarana transportasinya yang membuat lebih mudah dalam
beraktifitas. Sepeda motor satu-satunya yang ia punya terpaksa dipakai anaknya
untuk pulang pergi kuliah. Tapi sayang gaji yang ia terima setiap bulan
terkadang pas-pasan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya dalam sebulan, bahkan
terkadang pada akhir bulan ia sering mencari pinjaman untuk menutupi kebutuhan
keluarganya. Sehingga niatan untuk sepeda motor atau mobil masih sebatas
angan-angan.
Ia sering bergumam, “Seandainya saya sudah masuk sertifikasi
guru, mungkin keadaannya akan lebih baik. Bisa membeli motor lagi atau minimal
tidak usah mencari hutangan lagi setiap bulannya”.
Ia sangat berharap untuk segera
mendapatkan tunjangan sertifikasi guru, tapi karena masa kerja masih kurang ia
belum dipanggil untuk mengikuti pendidikan sertifikasi guru. Cerita
teman-temannya yang sudah mendapatkan tunjangan sertifikasi guru telah membuai
lamunan Pak Junedi untuk bisa hidup lebih baik lagi dari keadaannya sekarang. Ia
sudah bosan mendengar omelan istrinya yang selalu merasa kekurangan terhadap
gaji yang ia terima. Sudah berkali-kali istrinya menyuruh untuk mencari objekan atau bisnis sampingan di luar
kegiatan mengajarnya. Tapi untuk mencari bisnis sampingan itu tidak semudah
membalikkan tangan, butuh proses dan perjuangan. Akhirnya gaji guru tetap
menjadi andalan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Setelah sekian lama berjalan tak
terasa sampai juga Pak Junedi di depan rumahnya. Istana mungil dengan halaman
yang tak begitu luas menanti kedatangannya. “Assalamualaikum...”,
kata Pak Junedi sambil mengetuk pintu.
“Waalaikumussalam...”.
Pintu rumah pun segera terbuka. Ibu Hindun
segera menyambut dan menyalami suaminya yang baru datang. Tak lupa ia
menyediakan air minum untuk Pak Junedi yang kelihatannya begitu haus sehabis
pulang mengajar. Rasa pegal selama perjalanan seakan-akan hilang setelah sampai
ke rumah.
Rasa syukur tak lupa Pak Junedi
ucapkan, ”Alhamdulillah, nyampe juga di
rumah”.
Pak Junedi segera membuka sepatu dan
merebahkan badan pada sofa ruang tamunya.
Tiba-tiba dari dalam rumah terdengar
suara, “Ayah datang...ayah
datang.....ayah datang”. Suara itu terus diucapkan berulang-ulang. Mendengar suara itu bagi Pak Junedi bagaikan
embun peneduh yang bisa menghilangkan
segala masalah yang ia hadapi hari ini. Bidadari
cantik Pak Junedi segera menghampiri dan menyalaminya. Bidadari ini bernama Wati anak kedua Pak
Junedi yang masih duduk kelas 1 SD.
“Ayah bawa oleh-oleh ga?”, kata Wati yang begitu
manja pada ayahnya.
“Ayah sudah mempersiapkan oleh-oleh buat Wati, tapi dengan syarat wati
memberi hadiah ke ayah dulu”, kata Pak Junedi sambil menepuk
pipinya.
Akhirnya tanpa diperintah Wati segera
mengerti maksud ayahnya. Ia segera mencium kedua pipi ayahnya. Ciuman itu
sangat berarti bagi Pak Junedi, yaitu ciuman kasih sayang seorang anak pada
ayahnya. Setelah itu Pak Junedi segera memberikan coklat yang sengaja ia beli
untuk anak tercintanya.
“Terimakasih ayah...”, kata Wati lagi sambil berlalu dari tempat duduk ayahnya dan
kembali kepada aktivitas bermainnya.
Ada rasa bangga melihat Wati anak bungsunya begitu riang tanpa
beban. Rasa bangga melihat wati bisa tumbuh sehat dengan penuh kasih sayang
darinya, tapi rasa risau akan masa depan anak-anaknya tetap menggelayuti bathinnya. Melihat Keadaan masyarakat yang
semakin hari semakin jauh dari nilai-nilai moral, belum lagi pengaruh-pengaruh budaya
dari luar yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan jiwa anak-anaknya.
Pergaulan bebas, hedonisme, kapitalisme, liberalisme, mental korupsi,
menurunnya nilai-nilai kejujuran di masyarakat
dan masih banyak budaya-budaya dari luar yang sangat ia takuti berpengaruh pada masa
depan anaknya. Sebagai seorang guru
tentu memiliki keterbatasan untuk bisa menangkal semua pengaruh-pengaruh
tersebut. Ia membutuhkan dukungan dari semua pihak, baik masyarakat maupun
pemerintah untuk bersama-sama menjaga nilai-nilai moral yang ada. Tanpa
dukungan mereka maka tugasnya sebagai guru akan lebih sulit dilaksanakan. Pak
Junedi sadar sebagai guru yang merupakan pewaris kenabian tentu banyak mendapat
tantangan yang tidak ringan. Ia merupakan garda terdepan sekaligus benteng
terakhir menjaga nilai-nilai moral di masyarakat. Ia akan terus menaburkan
benih-benih cinta, nilai-nilai kebenaran dan kedamaian di muka bumi ini. Ia
akan membuat indonesia yang sesungguhnya pada kelas dan sekolah yang ia bina
dan yang ia bimbing. Ia yakin apa yang ia perbuat bisa bermakna bagi indonesia.
Ia selalu berpesan dan berdoa kepada
anak didiknya, “Anak-anakku semoga engkau
meraih masa depanmu, tanpa menghilangkan nilai-nilai moral bangsa ini”.
Akhirnya Pak Junedi pun merebahkan diri di
sofa rumahnya untuk sedikit menghilangkan rasa capai yang ia rasakan tanpa
mengendurkan harapan dan doa yang selalu ia panjatkan untuk keberhasilan anak
didiknya. Semoga cita-cita dan harapan Pak Junedi dapat terwujud. Amiin...
*)Guru/staf
pengajar SMPN 2 Plered, Cirebon