Kamis, 20 Oktober 2011

cerpen


 CINTA SANG GURU
Oleh: Taryaman, S.Pd*)
................
.....................
Umar Bakri .....
Umar Bakri.....
40 tahun mengabdi jadi guru jujur berbakti ...
Memang makan hati.
..................

Di angkot yang ditumpangi Pak Junedi, lagu Umar Bakri ciptaan Iwan Fals terus berkumandang. Ditengah cuaca yang sangat terik dan bisingnya kemacetan lalu lintas menambah penatnya suasana di siang itu. Ada rasa marah dan sedih  mendengar lirik lagu Umar Bakri ciptaan Iwan Fals tersebut.  Pak Junedi yang berprofesi sebagai guru yang jujur tentu tidak terima dengan penggambaran nasib guru seperti Umar Bakri. Sebegitu melaratkah nasib guru, sehingga para guru cuma mampu mampu membeli sepeda butut sebagai sarana transportasinya? Sebegitu rendahkah penghargaan para anak didiknya terhadap pahlawan tanda jasa ini yang jelas-jelas berjasa mengantarkan mereka ke gerbang cita-cita yang mereka inginkan?
“Mungkin ini sekedar lagu yang terkadang terlalu berlebihan”, kata Pak Junedi dalam hati.
Pak Junedi percaya seandainya ia berbuat yang terbaik pada anak didiknya, maka dengan sendirinya mereka pun akan menghargai dan berterimasih kepadanya. Tapi penggambaran yang dikemukakan Iwan Fals tidak selamanya salah. Mungkin ada sebagian kecil anak didiknya terkadang kurang menghargai jerih payah para gurunya. Para guru yang jujur terkadang sering makan hati. Mereka bekerja keras dengan sepenuh hati mencerdaskan  anak didiknya, tapi ketika anak didiknya keluar dari bangku sekolah dan menjadi orang besar. Maka mereka dengan mudah  melupakan begitu saja jasa-jasa guru di sekolahnya. Mereka seperti kacang lupa pada kulitnya. Bagi Pak Junedi ini hanya kasus kecil yang mungkin terjadi pada satu atau dua siswa dari sekian ribu siswa yang pernah dididiknya. Ada rasa bangga ketika melihat anak didiknya menjadi orang besar, tetapi mereka tetap menghargai dan menganggap sebagai gurunya. Bukankah mereka besar karena jasa para guru? Termasuk negeri ini akan berterimakasih pada para guru. Bukankah pembangunan dan kesejahteraan yang kita rasakan sekarang  berkat jasa guru? Bukankah kemajuan kemajuan negeri berkat jasa guru? Peranan guru sangatlah besar dalam pembangunan bangsa ini.
Akhirnya Pak Junedi sampai juga di tempat yang dituju. Angkot segera merapat ke pinggir jalan. Pak Junedi segera turun dan membayar ongkos sesuai tarif yang ada. Ia segera berjalan menuju tempat tinggalnya yang berjarak kurang lebih 300 meter dari jalan raya. Cuaca yang begitu terik ditambah perut Pak Junedi yang keroncongan yang ingin segera diisi membuat jarak 300 meter serasa begitu jauh untuk ditempuh. Rasa haus dan keringat segera bercucuran membasahi wajah dan baju yang dikenakan Pak Junedi. Ingin rasanya ia membeli sepeda motor atau mobil sebagai sarana transportasinya yang membuat lebih mudah dalam beraktifitas. Sepeda motor satu-satunya yang ia punya terpaksa dipakai anaknya untuk pulang pergi kuliah. Tapi sayang gaji yang ia terima setiap bulan terkadang pas-pasan untuk mencukupi kebutuhan keluarganya dalam sebulan, bahkan terkadang pada akhir bulan ia sering mencari pinjaman untuk menutupi kebutuhan keluarganya. Sehingga niatan untuk sepeda motor atau mobil masih sebatas angan-angan.
Ia sering bergumam, “Seandainya saya sudah masuk sertifikasi guru, mungkin keadaannya akan lebih baik. Bisa membeli motor lagi atau minimal tidak usah mencari hutangan lagi setiap bulannya”.
Ia sangat berharap untuk segera mendapatkan tunjangan sertifikasi guru, tapi karena masa kerja masih kurang ia belum dipanggil untuk mengikuti pendidikan sertifikasi guru. Cerita teman-temannya yang sudah mendapatkan tunjangan sertifikasi guru telah membuai lamunan Pak Junedi untuk bisa hidup lebih baik lagi dari keadaannya sekarang. Ia sudah bosan mendengar omelan istrinya yang selalu merasa kekurangan terhadap gaji yang ia terima. Sudah berkali-kali istrinya menyuruh untuk mencari objekan atau bisnis sampingan di luar kegiatan mengajarnya. Tapi untuk mencari bisnis sampingan itu tidak semudah membalikkan tangan, butuh proses dan perjuangan. Akhirnya gaji guru tetap menjadi andalan untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Setelah sekian lama berjalan tak terasa sampai juga Pak Junedi di depan rumahnya. Istana mungil dengan halaman yang tak begitu luas menanti kedatangannya. “Assalamualaikum...”, kata Pak Junedi sambil mengetuk pintu.
“Waalaikumussalam...”.
 Pintu rumah pun segera terbuka. Ibu Hindun segera menyambut dan menyalami suaminya yang baru datang. Tak lupa ia menyediakan air minum untuk Pak Junedi yang kelihatannya begitu haus sehabis pulang mengajar. Rasa pegal selama perjalanan seakan-akan hilang setelah sampai ke rumah.  
Rasa syukur tak lupa Pak Junedi ucapkan, ”Alhamdulillah, nyampe juga di rumah”.
Pak Junedi segera membuka sepatu dan merebahkan badan pada sofa ruang tamunya.
Tiba-tiba dari dalam rumah terdengar suara, “Ayah datang...ayah datang.....ayah datang”. Suara itu terus diucapkan berulang-ulang.  Mendengar suara itu bagi Pak Junedi bagaikan embun peneduh  yang bisa menghilangkan segala masalah yang ia hadapi hari ini.  Bidadari cantik Pak Junedi segera menghampiri dan menyalaminya.  Bidadari ini bernama Wati anak kedua Pak Junedi yang masih duduk kelas 1 SD.
 Ayah  bawa oleh-oleh ga?”, kata Wati yang begitu manja pada ayahnya.
“Ayah sudah mempersiapkan oleh-oleh buat Wati, tapi dengan syarat wati memberi hadiah  ke ayah dulu”, kata Pak Junedi sambil menepuk pipinya.
Akhirnya tanpa diperintah Wati segera mengerti maksud ayahnya. Ia segera mencium kedua pipi ayahnya. Ciuman itu sangat berarti bagi Pak Junedi, yaitu ciuman kasih sayang seorang anak pada ayahnya. Setelah itu Pak Junedi segera memberikan coklat yang sengaja ia beli untuk anak tercintanya.
“Terimakasih ayah...”, kata Wati lagi sambil berlalu dari tempat duduk ayahnya dan kembali kepada aktivitas bermainnya.
Ada rasa bangga  melihat Wati anak bungsunya begitu riang tanpa beban. Rasa bangga melihat wati bisa tumbuh sehat dengan penuh kasih sayang darinya, tapi rasa risau akan masa depan anak-anaknya tetap menggelayuti  bathinnya. Melihat Keadaan masyarakat yang semakin hari semakin jauh dari nilai-nilai moral, belum lagi pengaruh-pengaruh budaya dari luar yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan jiwa anak-anaknya. Pergaulan bebas, hedonisme, kapitalisme, liberalisme, mental korupsi, menurunnya nilai-nilai kejujuran di masyarakat  dan masih banyak budaya-budaya dari luar  yang sangat ia takuti berpengaruh pada masa depan anaknya.  Sebagai seorang guru tentu memiliki keterbatasan untuk bisa menangkal semua pengaruh-pengaruh tersebut. Ia membutuhkan dukungan dari semua pihak, baik masyarakat maupun pemerintah untuk bersama-sama menjaga nilai-nilai moral yang ada. Tanpa dukungan mereka maka tugasnya sebagai guru akan lebih sulit dilaksanakan. Pak Junedi sadar sebagai guru yang merupakan pewaris kenabian tentu banyak mendapat tantangan yang tidak ringan. Ia merupakan garda terdepan sekaligus benteng terakhir menjaga nilai-nilai moral di masyarakat. Ia akan terus menaburkan benih-benih cinta, nilai-nilai kebenaran dan kedamaian di muka bumi ini. Ia akan membuat indonesia yang sesungguhnya pada kelas dan sekolah yang ia bina dan yang ia bimbing. Ia yakin apa yang ia perbuat bisa bermakna bagi indonesia.
Ia selalu berpesan dan berdoa kepada anak didiknya, “Anak-anakku semoga engkau meraih masa depanmu, tanpa menghilangkan nilai-nilai moral bangsa ini”.
 Akhirnya Pak Junedi pun merebahkan diri di sofa rumahnya untuk sedikit menghilangkan rasa capai yang ia rasakan tanpa mengendurkan harapan dan doa yang selalu ia panjatkan untuk keberhasilan anak didiknya. Semoga cita-cita dan harapan Pak Junedi dapat terwujud.  Amiin...
               
                                *)Guru/staf pengajar SMPN 2 Plered, Cirebon


















cerpen


SANG PENJAJA CINTA DARI SIGUNDUL
Oleh: Taryaman, S.Pd*)
Malam kian larut, Budi terus menarik gas sepeda motornya sekencang mungkin. Sudah tidak terhitung lagi mobil dan sepeda motor yang berhasil disalipnya. Malam yang gelap dan gemuruh halilintar yang menggelegar menambah Budi untuk menancap sepeda motor sekencang-kencangnya. Dengan gaya meliuk-liuk di jalan raya, Budi berusaha menyalip kendaraan yang ada di depannya.  Lobang dan kerikil di jalanan pun tidak dihiraukan lagi oleh Budi untuk diterabasnya. Tikungan, tanjakan serta turunan mampu dilalapnya dengan mudah oleh Budi. Begitu pun rasa capai dan lapar pun tak menghalangi Budi untuk terus menggeber kuda besinya. Kelihaian tangan, kaki serta konsentrasi yang tinggi sangat diperlukan oleh Budi untuk dapat menguasai sepeda motornya. Tatkala Budi melewati jalan yang sepi jauh dari rumah penduduk dan sedikit penerangan jalan, jantung Budi  berdetak lebih kencang.  Perasaan takut akan pembegalan atau perampokan di jalan menghantui dirinya. Ditambah lagi oleh kilatan cahaya halilitar yang bertubi-tubi menandakan akan turunnya hujan membuat dia menggeber kuda besinya lebih kencang lagi. Apa yang dia pikirkan cuma satu, yaitu secepat mungkin sampai ke rumah dengan selamat dan terbebas dari guyuran hujan.
Budi yang  sekarang kuliah di Bandung sebenarya sudah terbiasa mengendarai sepeda motor dari Cirebon ke Bandung, tapi baru kali ini ia mengendarai sepeda motor lebih kencang dari biasanya. Biasanya Budi memerlukan waktu 3 sampai 4 jam untuk sampai dari Cirebon ke Bandung atau sebaliknya dari Bandung ke Cirebon. Budi menyesal berangkat dari Bandung sedikit malam, sehingga membuat dia tidak nyaman dalam mengendarai sepeda motornya. Setelah lama berkendaraan akhirnya Budi pun sampai di lampu merah Kadipaten. Lampu merah memberi dia kesempatan dia beristirahat sebentar. Ia meluruskan sendi-sendi kaki dan tangannya untuk lebih mengendurkan urat-urat saraf yang semakin tegang. Begitu lampu hijau menyala laksana dalam  sebuah pertandingan balap sepeda motor, Budi langsung menancap gas sepeda motornya. Dalam hitungan menit terminal Kadipaten pun dapat terlewati.
Suasana jalanan yang sepi memudahkan Budi menggeber sepeda motornya. Kurang dari satu jam daerah Jatiwangi sampai Ciwaringin pun dapat terlewati. Ketika sampai di perempatan Palimanan, hujan yang ditakutkan Budi akhirnya turun juga.  Budi masih terus melaju dengan sepeda motornya. Lama-kelamaan hujan pun bertambah besar. Dinginnya air hujan langsung terasa di kulit  Budi. Setelah samapai di daerah Plumbon tepatnya di daerah Sigundul Budi sudah tidak kuat lagi menahan deras dan dinginnya air hujan. Ia segera mencari tempat berteduh. Ia berhenti dan merapatkan sepeda motornya pada warung-warung yang berjejer rapih di pinggir jalan  di daerah Sigundul.
Sebenarnya ia tidak ingin berhenti di daerah Sigundul, tapi karena kondisi badannya yang tidak  kuat lagi menahan guyuran hujan ,maka dengan terpaksa ia pun berhenti juga. Kabar tentang daerah Sigundul sebagai tempat transaksi esek-esek para kaum waria dan PSK, membuat Budi sedikit ragu-ragu untuk berhenti di tempat ini. Rasa penasaran menggelayuti batin Budi tentang kebenaran berita tersebut. Budi langsung masuk ke warung yang kebetulan masih buka. Ia segera memesan indomie rebus dan minuman hangat untuk menghilangkan rasa lapar dan dinginnya malam yang tidak bisa ditolerir lagi. Sambil menunggu pesanannya datang, ia melihat keadaan sekitar daerah sigundul. Warung-warung yang berjejer rapi di pinggir jalan dengan sedikit penerangan jalan. Pada sisi jalan juga banyak ngetem truk-truk besar untuk menghilangkan kepenatan para supirnya. Apalagi di belakang warung ini terhampar sungai dan sawah yang begitu luas.
“Mungkin keadaan inilah yang dimanfaatkan betul oleh para pekerja seks, baik dari kaum waria maupun dari PSK”, kata Budi yang mencoba menganalisa tempat tersebut.
Walaupun di depan warung-warung di Sigundul berdiri rumah sakit yang cukup megah, tapi toh tidak mempengaruhi transaksi esek-esek di daerah ini. Setelah sekian lama akhirnya pesanan makanan pun datang juga.
Mas, indomie rebus sama teh panasnya sudah jadi”, kata penjaga warung.
Terimakasih Bu...”.
Tanpa menunggu lama Budi pun langsung menyantap indomie rebus yang sudah tersaji. Indomie rebus dan teh hangat terasa nikmat di tenggorokan. Lagi enak-enaknya makan, tiba-tiba dari dalam warung tersebut muncul sosok yang membuat Budi kaget bukan kepalang. Dengan dandanan yang begitu menor laksana biduanita. Sosok tersebut sedikit demi sedikit menghampirinya. Sosok yang kelihatan dari jauh seperti perempuan, tapi setelah di lihat dari dekat sangat kelihatan otot-otot kelaki-lakiannya. Tonjolan jakun pun sangat terlihat jelas menempel di lehernya. Ini menandakan bahwa sosok ini adalah laki-laki yang berdandan ala wanita alias waria.
 Dalam hatinya berkata, “Ternayata benar Sigundul adalah tempat mangkalnya para waria”.
Jantung Budi terus berdetak lebih kencang begitu sosok waria tersebut terus mendekatinya, bahkan tanpa sungkan-sungkan ia berusaha menjamah tubuh Budi. Budi seakan-akan tidak bisa bernafas melihat perilaku waria yang begitu nekat pada dirinya.
Mau pijit mas...? Pake mulut boleh. Dua puluh ribu aja ko mas”, kata waria yang berusaha menawarkan diri dengan gayanya yang sangat genit.
Mendapat tawaran seperti itu Budi langsung berhenti makan dan melirik ke arah ke arah waria tersebut . Ada perasaan risi dengan kedatangan waria tersebut. Ingin  rasanya ia mengusir waria itu dari hadapannya, tapi itu jelas tidak mungkin, karena waria tersebut adalah pelanggan warung sama seperti dirinya. Setelah sekian lama akhirnya Budi mampu menenangkan dirinya. Karena tidak ada piihan, Budi pun berusaha menanggapi Waria dengan perasaan tenang tanpa mengurangi rasa hormat pada waria itu.
 “Mas.., eeh salah, maksud saya nama mba siapa?”, kata Budi sedikit grogi.
 “Andien Mas, kenapa grogi mas...?”
kita Ngobrol aja ya.., ga usah pegang-pegang tangan saya”, kata Budi sambil melepaskan tangannya yang berusaha dipegang oleh waria tersebut.  
“Boleh aja,  asal mas dikasih uang ke eyke”, kata waria sedikit memberi penawaran dengan gaya keperempuannya.
“Ya, nanti saya kasih dua puluh  ribu deh! Asal kamu jangan macam-macam ke saya ya!”, kata Budi sedikit menggertak.
Untuk menghilangkan kejenuhan, akhirnya Budi dan waria tersebut terlibat percakapan di dalam warung tersebut. Budi mendengarkan segala suka duka dan curhat dari waria Andien itu. Ternyata Andien nama aslinya Andi. Dia berasal dari Cirebon dari keluarga berpendidikan, tapi karena pergaulan yang lebih banyak dengan perempuan. Akhirnya sifat dan perilakunya pun seperti perempuan. Ditambah lagi pengalaman pahit yang pernah ia alami ketika di SMA.  Ia pernah disodomi oleh seseorang yang menambah sifat keperempuannya. Keluarganya berkali-kali menegur dan melakukan berbagai macam cara untuk merubah dia  menjadi laki-laki tulen, tapi itu tidak berpengaruh. Bahkan semakin hari sifat perempuannya semakin bertambah. Ia tidak malu-malu lagi menggunakan dandanan ala perempuan. Dia lebih PD kalau menggunakan dandanan perempuan. Orientasi seksnya pun berubah, ia lebih menyukai laki-laki dari pada perempuan. Akhirnya untuk menunjukkan eksistensinya ia kabur dari rumah dan menjadi penjaja seks di Sigundul. Ia bukan semata-mata mencari sepeser rupiah sebagai penghasilan hidupnya, tapi yang lebih penting lagi mencari kepuasan bathin dan kepuasan biologisnya terhadap kaum laki-laki. Sebenarnya  ia menginginkan bekerja di lingkungan formal yang sesuai dengan sifat keprempuannya misalnya menjadi penjaga toko, di salon, refleksi dan pekerjaan-pekerjaan lainnya. Tapi apa daya kemampuan dia sangat kurang, akhirnya dia terjerumus ke lembah Sigundul. Sikap masyarakat yang menganggap kaum waria sebagai sampah masyarakat pun membuat dia semakin  jauh masuk ke dalam dunia kewariannya. Dalam bathinnya  menangis akan kedurhakannya kepada Tuhan.  Ingin rasanya  keluar dari bayang-bayang antara laki-laki dan perempuan. Andai ia  boleh memilih tentu ia ingin jenis kelamin perempuan asli tanpa embel-embel waria. Tapi itu sesuatu yang mustahil, karena sama saja dengan menyalahi kodrat. Ingin rasanya ia bisa membina rumah tangga, mempunyai anak dan hidup bahagia seperti manusia normal lainnya. 
Begitu asyiknya ngobrol dengan waria. Tak terasa hujan di luar pun berhenti. Tiba-tiba terdengar suara yang membuat kaget seluruh pelanggan warung tersebut.
 “Ada razia! Ada razia!”.
Mendengar pemberitahuan tersebut muka Andien alias Andi langsung kaget dan segera berdiri dari tempat  duduknya.
 “Udah Mas! Ada razia  saya harus kabur!” kata Andien tergopoh-gopoh.
 Andien pun langsung keluar dari warung tersebut. Sepatu hak tinggi yang dipakainya segera ia copot dan tanpa basa-basi ia pun berlari sekencang mungkin menghindari kejaran petugas SATPOL PP yang kebetulan sedang melakukan operasi (razia) penyakit masyarakat di daerah tersebut. Dalam hati kecil Budi tertawa terkekeh melihat tingkah laku Andien yang lari tunggang langgang.
 “Andien...Andien, ternyata keluar juga sifat kelaki-lakiannya”, kata Budi sambil menggelengkan-gelengkan kepala.
Melihat fenomena tersebut rasa ibah muncul dalam relung hati Budi, melihat kerasnya hidup yang dialami oleh Andien dan kelompok waria lainnya. Nyanyian yang mereka suarakan begitu sumbang dan lirih yang terasa tidak merdu untuk didengarkan.  Nyanyian tentang kegamangan jati diri, kegamangan eksistensinya, kegamangan tentang masa depannya, kegamangan tentang tanggung jawab kepada Tuhan dan masih banyak kegamangan-kegamangan lainnya yang sangat sulit untuk dijawab. Ia berharap semoga esok hari nyanyian Andien berubah menjadi nyanyian merdu dengan nada-nada yang enak untuk didengar.
 “Semoga engkau menjadi Andi lagi bukan menjadi Andien. Kau dilahirkan sebagai Andi, bukan Andien. Semoga Tuhan memberikan jalan kepadamu”.
Setelah menghilangnya Andien oleh kegelapan malam, Budi pun beranjak juga dari warung tersebut. Ia segera menstater sepeda motornya dan berlalu dari kawasan Sigundul  untuk melanjutkan perjalananan sampai ke  tempat tujuannya dengan selamat.
           
                        *)Guru/Staf Pengajar tinggal di Kedawung, Cirebon


Kamis, 06 Oktober 2011